BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Syarat diterimanya ibadah adalah rasa ikhlas. Sebagaimana
diterangkan dalam ayat Al-Qur'an (QS. Az-Zumar: 65): “Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu, “Sungguh, jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.". Dengan ikhlas
kita tidak akan tersesat ke jalan yang tidak diridhoi Allah, dengan ikhlas pula
kita tidak akan menjadi orang yang riya’ atau sombong, karena sombong itu
merupakan sifatnya iblis. Ia (Iblis)
berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat,aku
pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan
menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih diantara
mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras
dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Jika beras itu telah
bersih, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor,
ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan,
menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan
tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya’ akan menyebabkan
amal tidak terasa nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Namun, banyak dari kita yang beribadah tidak berlandaskan rasa ikhlas kepada
Allah SWT, melainkan dengan sikap riya’ atau sombong agar mendapat pujian dari
orang lain. Hal inilah yang dapat menyebabkan ibadah kita tidak diterima oleh
Allah SWT.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini dibuat atas dasar timbulnya beberapa
pertanyaan, diantaranya:
a.
Apa yang dimaksud dengan ikhlas?
b.
Bagaimana
kedudukan keikhlasan?
c.
Apa saja
manfaat dan keutamaan keikhlasan?
d.
Apa saja
klasifikasi keikhlasan?
e.
Bagaimana
ciri-ciri orang yang ikhlas?
f.
Bagaimana cara
untuk mencapai keikhlasan?
g.
Apa saja
perusak-perusak keikhlasan?
h.
Bagaimana
Implementasi dari sebuah keikhlasan?
1.3 Tujuan
Makalah ini dibuat dengan
tujuan agar setiap orang termasuk kami pribadi dapat mengetahui bagaimana agar mencapai keikhlasan yang sesungguhnya yang
sebenar-benar ikhlas dan menjauhi hal-hal yang dapat merusaknya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Arti Ikhlas
Secara bahasa, Ikhlas bermakna
bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih dari kotoran. Sedangkan
secara istilah, Ikhlas berarti niat dengan mengharap ridha Allah saja dalam
beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Ada pula yang
mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian
manusia. Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah
orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan penghargaan
hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain, karena ingin memperbaiki
hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia
lakukan diperhatikan oleh orang, walaupun perbuatan itu sederhana.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim
sejati makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan,
dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya
tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, kemajuan atau
kemunduran. Dengan demikian, Muslim tersebut menjadi tentara fikrah dan aqidah,
bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri
(muslim).” (QS. Al-An’aam [6]: 162)
Dan yang berkarakter seperti itulah yang mempunyai semboyan “Allahu Ghayaatunaa”, yang artinya Allah
adalah tujuan kami, dalam segala aktivitas dalam mengisi kehidupan.
2.2 Kedudukan Ikhlas
Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama, cukup bagimu amal
yang sedikit.”
Ditanya Sahl
bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian nafsu
tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk
kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."
Ikhlas adalah melakukan amal, baik
perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah Ta’ala semata. Allah SWT dalam
Al-Qur’an memerintahkan kita untuk ikhlas, seperti dalam firmanNya (yang
artinya): “dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah wajahmu kepada
agama dengan tulus dan ikhlas, dan jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang
musyrik.” (QS. Yunus [10] : 105)
Rasulullah SAW, juga mengingatkan
kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak menerima amal kecuali
apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.” (HR.
Abu Daud dan Nasa’i)
Imam Ali bin Abu Thalib r.a juga
berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar
setiap amal diterima oleh Allah.”
Ikhlas adalah buah dan intisari dari
iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman
Allah SWT (yang artinya): Katakanlah (Muhammad): “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.
al-An’aam [6]: 162)
Allah SWT juga berfirman dalam ayat
lain (yang artinya), “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah,
dengan ikhlas menaatiNya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar
melaksanakan shalat dan menjalankan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus (benar).” (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat
kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa,
jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh
manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka
ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Tidak heran Ibnu Qayyim al-Jauziyah
memberi perumpamaan bahwasanya, “Amal
tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir.
Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau
menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa
amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu
bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang
munafik.”
Ikhlas
merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi
wa Salam. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya merekamendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)
Juga
firmanNya yang lain, artinya: "Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang
lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al
Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya)
adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai
tuntunan).
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak
membutuhkan persekutuan, barang siapa melakukan suatu perbuatan yang di
dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga
sekutunya." (HR. Muslim)
Oleh karenanya
suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur
terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan
pelakunya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam
hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah
orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut
pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan
ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori'
atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta
lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai
orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan
kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).
Dari beberapa contoh hadist di atas menunjukkan bahwa ikhlas
itu memang sangat penting bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa
rasa ikhlas dan hanya mengharap ridho dari Allah SWT ibadah kita tidak akan diterima
oleh Allah.
2.3 Manfaat
dan Keutamaan Ikhlas
1.
Membuat
hidup menjadi tenang dan tenteram.
2.
Amal
ibadah kita akan diterima oleh Allah SWT.
3.
Dibukanya
pintu ampunan dan dihapuskannya dosa serta dijauhkan dari api neraka.
4.
Diangkatnya
derajat dan martabat oleh Allah SWT.
5.
Do’a
kita akan diijabah oleh Allah SWT.
6.
Dekat
dengan pertolongan Allah SWT.
7.
Mendapatkan
perlindungan dari Allah SWT.
8.
Akan
mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat.
9.
Allah
SWT akan memberi hidayah (petunjuk) sehingga tidak tersesat ke jalan yang
salah.
10. Allah akan membangunkan sebuah rumah
untuk orang-orang yang ikhlas dalam membangun masjid.
11. Mudah dalam memaafkan kesalahan
orang lain
12. Dapat memiliki sifat zuhud (menerima
dengan apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT).
2.4
Klasifikasi Ikhlas
1. Iklhas Mubtadi’: Yakni orang yang beramalkarena Allah, tetapi di dalam hatinya terbesit keinginan pada dunia.
Ibadahnya dilakukan hanya untuk menghilangkan kesulitan dan kebingunan. Ia melaksanakan shalat tahajud dan
bersedekah karena ingin usahanya berhasil.
Ciri orang yang mubtadi’ bisa terlihat dari cara dia beribadah. Orang yang hanya beribadah ketika sedang butuh biasanya ia tidak akan istiqomah. Ia beribadah ketika ada kebutuhan. Jika kebutuhannya sudah terpenuhi, ibadahnya pun
akan berhenti.
2. Ikhlas Abid: Yakni orang yang beramal karena Allah dan hatinya bersih daririya’ serta keinginan dunia.
Ibadahnya dilakukan hanya karena Allah dan demi meraih
kebahagiaan akhirat,
menggapai surga, takut neraka, dengan dibarengi keyakinan bahwa amal ini bisa menyelamatkan dirinya dari siksaan api neraka. Ibadah seorang abid ini
cenderung berkesinambungan,
tetapi ia tidak mengetahui mana yang harus dilakukan dengan segera (mudhayyaq) dan mana yang bisa diakhirkan (muwassa’), serta
mana yang penting dan lebih penting. Ia menganggap semua ibadah itu adalah sama.
3. Ikhlas Muhibb: Yakni orang yang beribadah hanya karena Allah, bukan ingin surga atau takut neraka. Semuanya dilakukan karena bakti dan memenuhi perintah dan mengagungkan-Nya.
4. Ikhlas Arif: Yakni orang yang dalam ibadahnya memiliki perasaan bahwa ia digerakkan
Allah. Ia merasa bahwa yang beribadah itu
bukanlah dirinya. Ia hanya menyaksikan ia sedang digerakkan Allah karena memiliki keyakinan bahwa tidak memiliki daya dan upaya melaksanakan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan.
Semuanya berjalan atas kehendak Allah.
2.5
Ciri Orang
yang Ikhlas
1.
Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam
beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian
ataupun celaan. Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas
atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik
suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah,
berdakwah, dan berjihad. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin
jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan
semakin berkurang jika dicela.”
2.
Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam
keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari
umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih,
tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah
saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam
seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang
diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah). Tujuan yang hendak dicapai orang yang
ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa
memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai,
dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin
Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3.
Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang da’i yang
ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama
da’i, sebagaimana dia juga merasa
senang jika terlaksana oleh tangannya. Para dai yang ikhlas akan menyadari
kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal
jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat
dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk
meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
4.
Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri.
5.
Tidak silau dan cinta jabatan.
6.
Tidak diperbudak imbalan dan balas budi.
7.
Tidak mudah kecewa.
8.
Yang terakhir adalah Jika anda istiqomah dalam
menghafal Al-Qur’an, maka anda termasuk orang-orang yang ikhlas dan jujur dan
sungguh Allah akan senantiasa membantu perjuangan anda.
2.6 Cara Mencapai Keikhlasan
Cara agar kita dapat mencapai rasa
ikhlas adalah dengan mengosongkan pikiran disaat kita sedang beribadah kepada
Allah SWT. Kita hanya memikirkan Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah,
semua amal yang kita lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi,
kita hanya tertuju pada Allah. Jangan munculkan rasa riya’ atau sombong di
dalam diri kita karena kita tidak berdaya di hadapan Allah SWT. Rasakanlah
Allah berada di hadapan kita dan sedang menyaksikan kita. Insya Allah dengan cara
tersebut keikhlasan dapat dicapai. Dan jangan lupa untuk berdo’a memohon kepada
Allah SWT agar kita dapat beribadah secara ikhlas untuk-Nya, sebagaimana do’a
Nabi Ibrahim a.s, ”Sesungguhnya jika Rabb-ku
tidak memberi hidayah kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al An'aam: 77).
termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al An'aam: 77).
2.7 Perusak-Perusak
Keikhlasan
Ada beberapa hal yang bisa
merusak keikhlasan yaitu:
·
Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah
dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya. Terdapat bentuk detail
dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau disebut dengan riya' khafiy'
yaitu:
1.
Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan
yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak
orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului
salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya,
segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli
(diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak
iadapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah
dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu
menghormatinya.
2.
Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud
dan tujuan. Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini,
beliau berkata: "Dikisahkan bahwa
Abu Hamid AlGhazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat
ikhlas semata-mata karena Allah selama empat puluh hari maka akan memancar
hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan)”, berkata Abu
Hamid: "Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak
memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu,
maka ia berkata: "Sesungguhnya kamu
ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah
semata.” Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan manusia terkadang ingin disebut ahli ilmu dan
hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa
untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah. Jika ia
menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah, maka
terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini
hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.”
3.
Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau
berkata: "Ada satu hal yang sangat
tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya
dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai
orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat
dan memujinya. Ini merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu
diperingatkan oleh para salafus shaleh.”
·
Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk
didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
·
'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa:
"Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah dengan makhluk, sedang ujub
masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri sendiri. (Al fatawaa, 10/277)
2.8
Contoh
Implementasi Keikhlasan
Dikisahkan
oleh seorang pemuda ketika ia berada di salah satu supermarket di Mekah. Saat
ia sedang mengantri di kasir untuk
membayar apa yang hendak dibelinya, di depannya terdapat seorang wanita
bersama dua putri kecilnya dan tepat di belakang mereka dan didepannya terdapat
seorang pemuda. Ketika wanita bersama dua putri kecilnya itu hendak membayar
apa yang dibelinya seharga 145 real, sang wanita memasukkan tangannya ke tas
kecilnya untuk mencari-cari uang, ternyata ia hanya mendapatkan pecahan 50 realan
dan beberapa lembar pecahan sepuluhan realan. Ia juga melihat kedua putrinya
juga sibuk mengumpulkan uang pecahan realan milik mereka berdua hingga akhirnya
terkumpulah uang mereka 125 real. Maka terlihatlah ibu mereka berdua
kebingungan dan mulailah sang ibu mengembalikan sebagian barang-barang yang
telah dibelinya. Salah seorang putrinya berkata, "Bu, yang ini kami tidak jadi beli, tidak penting bu".
Tiba-tiba Ia
melihat sang pemuda yang berdiri persis di belakang mereka melemparkan selembar
uang 50 realan di samping sang wanita dengan sembunyi-sembunyi dan cepat. Lalu
sang pemuda tersebut segera berbicara kepada sang wanita dengan penuh kesopanan
dan ketenangan seraya berkata, "Ukhti,
perhatikan, mungkin uang 50 realan ini jatuh dari tas kecilmu".
Lalu sang pemuda menunduk dan mengambil uang 50 realan tersebut dari lantai lalu ia berikan kepada sang wanita. Sang wanitapun berterima kasih kepadanya lalu melanjutkan pembayaran barang ke kasir, kemudian wanita itupun pergi.
Setelah sang pemuda menyelesaikan pembayaran barang belanjaannya di kasir iapun segera pergi tanpa melirik ke belakang seakan-akan ia kabur melarikan diri. Pemuda inipun segera menyusulnya lalu ia berkata, "Akhi. sebentar dulu!, aku ingin berbicara denganmu sebentar". Lalu ia bertanya kepadanya, "Demi Allah, bagaimana kau punya ide yang cepat dan cemerlang seperti tadi?"
Tentunya pada mulanya sang pemuda berusaha mengingkari apa yang telah ia lakukan, akan tetapi setelah pemuda ini kabarkan kepadanya bahwa ia telah menyaksikan semuanya, dan ia menenangkannya dan menjelaskan bahwasanya ia bukanlah penduduk Mekah, ia hanya menunaikan ibadah umroh dan ia akan segera kembali ke negerinya, dan kemungkinan besar ia tidak akan melihatnya lagi. Lalu pemuda tersebutpun berkata, "Saudaraku, demi Allah aku tadi bingung juga, apa yang harus aku lakukan, selama dua menit tatkala sang wanita dan kedua putrinya berusaha mengumpulkan uang mereka untuk membayar kasir, akan tetapi Robmu Allah subhaanahu wa ta'aala mengilhamkan kepadaku apa yang telah aku lakukan tadi, agar aku tidak menjadikan sang wanita malu di hadapan kedua putrinya. Demi Allah, saya mohon agar engkau tidak bertanya-tanya lagi dan biarkan aku pergi". Aku berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, aku berharap engkau termasuk dari orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka: "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah" (QS Al-Lail 5-7)
Lalu sang pemuda itupun menangis, lalu meminta izin kepada pemuda ini dan berjalan menuju mobilnya sambil menutup wajahnya.
Lalu sang pemuda menunduk dan mengambil uang 50 realan tersebut dari lantai lalu ia berikan kepada sang wanita. Sang wanitapun berterima kasih kepadanya lalu melanjutkan pembayaran barang ke kasir, kemudian wanita itupun pergi.
Setelah sang pemuda menyelesaikan pembayaran barang belanjaannya di kasir iapun segera pergi tanpa melirik ke belakang seakan-akan ia kabur melarikan diri. Pemuda inipun segera menyusulnya lalu ia berkata, "Akhi. sebentar dulu!, aku ingin berbicara denganmu sebentar". Lalu ia bertanya kepadanya, "Demi Allah, bagaimana kau punya ide yang cepat dan cemerlang seperti tadi?"
Tentunya pada mulanya sang pemuda berusaha mengingkari apa yang telah ia lakukan, akan tetapi setelah pemuda ini kabarkan kepadanya bahwa ia telah menyaksikan semuanya, dan ia menenangkannya dan menjelaskan bahwasanya ia bukanlah penduduk Mekah, ia hanya menunaikan ibadah umroh dan ia akan segera kembali ke negerinya, dan kemungkinan besar ia tidak akan melihatnya lagi. Lalu pemuda tersebutpun berkata, "Saudaraku, demi Allah aku tadi bingung juga, apa yang harus aku lakukan, selama dua menit tatkala sang wanita dan kedua putrinya berusaha mengumpulkan uang mereka untuk membayar kasir, akan tetapi Robmu Allah subhaanahu wa ta'aala mengilhamkan kepadaku apa yang telah aku lakukan tadi, agar aku tidak menjadikan sang wanita malu di hadapan kedua putrinya. Demi Allah, saya mohon agar engkau tidak bertanya-tanya lagi dan biarkan aku pergi". Aku berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, aku berharap engkau termasuk dari orang-orang yang Allah berfirman tentang mereka: "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah" (QS Al-Lail 5-7)
Lalu sang pemuda itupun menangis, lalu meminta izin kepada pemuda ini dan berjalan menuju mobilnya sambil menutup wajahnya.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ikhlas berarti niat dengan mengharap
ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Keikhlasan
itu sangat penting bagi umat muslim dalam melaksanakan ibadah, karena tanpa
rasa ikhlas dan hanya mengharap ridho dari Allah SWT ibadah kita tidak akan
diterima oleh Allah.
Keikhlasan dapat dicapai dengan cara
mengosongkan pikiran disaat kita sedang beribadah kepada Allah SWT. Fokuskan
pikiran hanya kepada Allah, shalat untuk Allah, zikir untuk Allah, semua amal
yang kita lakukan hanya untuk Allah. Lupakan semua urusan duniawi, kita hanya
tertuju pada Allah. Jangan munculkan rasa riya’ atau sombong atau sum’ah di
dalam diri kita karena akan merusak keikhlasan kita. Rasakanlah Allah berada di
hadapan kita dan sedang menyaksikan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Az-zibari
Dr. Amir Said, Dar Ibnu Hazm, pertama, November 2001, Jl. Kampung melayu kecil
III/15 jak-sel 12840
Al-Hafizh,
An-Nadani Abdussalam,Penerjemah Lc, Nurtsani Imran Pipih, 2011, 8 Langkah Hebat
Menghafal Al-qur’an, Solo, Al-Hambra.